ichwantho
Senin, 18 Maret 2013
MONAS
Monumen Nasional atau
yang populer disingkat dengan Monas atau Tugu Monas adalah monumen peringatan
setinggi 132 meter (433 kaki) yang didirikan untuk mengenang perlawanan dan
perjuangan rakyat Indonesia untuk merebut kemerdekaan dari pemerintahan
kolonial Hindia Belanda. Pembangunan monumen ini dimulai pada tanggal 17
Agustus 1961 di bawah perintah presiden Sukarno, dan dibuka untuk umum pada
tanggal 12 Juli 1975. Tugu ini dimahkotai lidah api yang dilapisi lembaran emas
yang melambangkan semangat perjuangan yang menyala-nyala. Monumen Nasional
terletak tepat di tengah Lapangan Medan Merdeka, Jakarta Pusat. Monumen dan
museum ini dibuka setiap hari mulai pukul 08.00 - 15.00 WIB. Pada hari Senin
pekan terakhir setiap bulannya ditutup untuk umum.
Setelah pusat
pemerintahan Republik Indonesia kembali ke Jakarta setelah sebelumnya
berkedudukan di Yogyakarta pada tahun 1950 menyusul pengakuan kedaulatan
Republik Indonesia oleh pemerintah Belanda pada tahun 1949, Presiden Sukarno
mulai memikirkan pembangunan sebuah monumen nasional yang setara dengan Menara
Eiffel di lapangan tepat di depan Istana Merdeka. Pembangunan tugu Monas
bertujuan mengenang dan melestarikan perjuangan bangsa Indonesia pada masa
revolusi kemerdekaan 1945, agar terus membangkitkan inspirasi dan semangat
patriotisme generasi saat ini dan mendatang.
Pada tanggal 17
Agustus 1954 sebuah komite nasional dibentuk dan sayembara perancangan monumen
nasional digelar pada tahun 1955. Terdapat 51 karya yang masuk, akan tetapi
hanya satu karya yang dibuat oleh Frederich Silaban yang memenuhi kriteria yang
ditentukan komite, antara lain menggambarkan karakter bangsa Indonesia dan
dapat bertahan selama berabad-abad. Sayembara kedua digelar pada tahun 1960
tapi sekali lagi tak satupun dari 136 peserta yang memenuhi kriteria. Ketua
juri kemudian meminta Silaban untuk menunjukkan rancangannya kepada Sukarno.
Akan tetapi Sukarno kurang menyukai rancangan itu dan ia menginginkan monumen
itu berbentuk lingga dan yoni. Silaban kemudian diminta merancang monumen
dengan tema seperti itu, akan tetapi rancangan yang diajukan Silaban terlalu
luar biasa sehingga biayanya sangat besar dan tidak mampu ditanggung oleh
anggaran negara, terlebih kondisi ekonomi saat itu cukup buruk. Silaban menolak
merancang bangunan yang lebih kecil, dan menyarankan pembangunan ditunda hingga
ekonomi Indonesia membaik. Sukarno kemudian meminta arsitek R.M. Soedarsono
untuk melanjutkan rancangan itu. Soedarsono memasukkan angka 17, 8 dan 45,
melambangkan 17 Agustus 1945 memulai Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, ke dalam
rancangan monumen itu.[1][2][3] Tugu Peringatan Nasional ini kemudian dibangun
di areal seluas 80 hektar. Tugu ini diarsiteki oleh Friedrich Silaban dan R. M.
Soedarsono, mulai dibangun 17 Agustus 1961
Taman Suropati
Taman Suropati (awalnya bernama Burgemeester Bisschopplein) adalah nama sebuah taman di Jakarta. Pada awalnya nama taman ini diambil dari nama Walikota (Burgemeester) Batavia yang pertama G.J. Bisshop (1916-1920). Taman ini merupakan pusat kawasan Menteng, berada tepat di antara pertemuan tiga jalan utama yaitu Menteng Boulevard (Jl. Teuku Umar), Orange Boulevard (Jl. Diponegoro) dan Nassau Boulevard (Jl. Imam Bonjol). Pada mulanya berbentuk bukit, kemudian dipangkas dan sebagian tanahnya dibuang ke Jl. Besuki. Lapangan ini mulai ditanami pohon maupun bunga sejak 1920. Lapangan yang kini disebut sebagai Taman Suropati ini sejak tahun 1920 sudah menggantikan lapangan bundar yang luas dalam Rencana Moojen. Taman Suropari yang rindang, sejak beberapa tahun yang lalu dihiasi dengan patung-patung karya pematung dari seluruh ASEAN.
Segi Tiga Senen - Atrium
Sejarah Senen diawali dengan dibukanya Pasar Senen oleh
Yustinus Vinck pada tahun 1733. Selain Pasar Senen, Vinck juga membuka Pasar
Tanah Abang. Dua tahun berikutnya ia menghubungkan kedua pasar tersebut dengan
sebuah jalan, yang sekarang disebut Jl. Prapatan dan Jl. Kebon Sirih yang juga
merupakan jalur penghubung timur-barat pertama di Jakarta Pusat kini.
Setelah zaman kemerdekaan hingga tahun 1975, Senen menjadi
pusat perdagangan terkemuka di Jakarta. Pada tahun 1974 terjadi tragedi Malari
yang memporakporandakan Pasar Senen. Mahasiswa pada saat itu, marah atas
kebijakan ekonomi Indonesia yang bergantung pada Jepang. Dan Pasar Senen
merupakan simbol dari penjualan produk-produk Jepang.
[sunting]
Pusat Perdagangan Ibu Kota
Pada awal abad ke-20, Senen telah menjadi jantung ibu kota
dengan denyut perdagangan yang tak pernah berhenti. Beberapa toko besar dan
terkenal, banyak berdiri di sepanjang Jalan Kramat Bunder, Jalan Kramat Raya,
Jalan Kwitang, dan Jalan Senen Raya. "Apotik Rathkamp" yang setelah
kemerdekaan menjadi Kimia Farma, berdiri di seberang Segi Tiga Senen. Di Gang
Kenanga terdapat toko sepeda "Tjong & Co". Di Jalan Kramat Bunder
terdapat rumah makan terkenal "Padangsche Buffet".[1] Di Jalan
Kwitang terdapat toko buku Gunung Agung. Serta dua bioskop terkenal, Rex
Theater (kini Bioskop Grand) dan Rivoli Theater di Jalan Kramat Raya. Di Pasar
Senen terdapat toko Djohan Djohor milik saudagar Minangkabau, yang terkenal
karena sering memberikan potongan harga.
Istiqlal
Keberadaan masjid megah yang terletak di Jalan Medan Merdeka Timur, Jakarta Pusat ini, memang jadi pusat perhatian rakyat Indonesia sejak lama. Kemegahan serta kapasitas masjid yang dapat menampung ribuan jemaah membuat masjid ini memiliki daya tarik tersendiri.
Bangunan utama masjid yang berdiri diatas tanah seluas tiga hektar itu, merupakan salah satu bangunan bersejarah yang dibangun pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.
Gagasan awal dibangunnya masjid megah ini ketika sekumpulan tokoh Islam mendirikan yayasan yang bertujuan mendirikan masjid agung dengan nama Masjid Istiqlal di Jakarta.
Kata Istiqlal sendiri berasal dari bahasa arab yang berarti kemerdekaan. “Kata ini dipakai sebagai rasa syukur kaum muslimin kepada Allah atas anugerah kemerdekaan setelah mengalami masa penjajahan yang cukup panjang” ujar pegawai bagian Penerangan Masjid Istiqlal, Siregar saat ditemui di ruangannya.
Pada tahun 1955, diadakan sayembara oleh yayasan tersebut untuk memilih desain bangunan megah ini. Dari 27 desain, panitia sepakat untuk memilih satu desain dengan nama sandi “ketuhanan” buatan arsitek, F Silaban.
F Silaban pada masa itu merupakan arsitek terkenal di Indonesia. Selain Istiqlal, karya lainnya yang masih menghiasi ibukota adalah desain gedung BI.
Kemudian, masjid ini mulai didirikan pada tahun 1961 dan baru selesai pada tahun 1978. Berawal pada masa Presiden Soekarno dan diresmikan penggunaannya pada masa presiden Soeharto.
Setelah memakan waktu pembangunan masjid sekitar 17 tahun, maka berdirilah masjid dengan luas 3 hektar ini di tanah seluas 9,5 hektar.
Bangunan ini terdiri dari sebuah bangunan masjid, taman, halaman parkir, kolam air mancur serta sungai yang mengelilingi areal parkir masjid.
Bangunan masjid terdiri dari gedung utama, gedung pendahuluan, teras raksasa, menara dan lantai dasar.
Gedung induk terdiri dari lantai utama yang berfungsi untuk shalat dengan kapasitas 16.000 orang dan pada samping kiri, kanan serta belakang terdapat lantai bertingkat lima yang dapat menampung jamaah sebanyak 61.000 orang.
Gedung ini memiliki 12 pilar besar sebagai simbol tanggal kelahiran Nabi Muhammad SAW. Pilar-pilar tersebut menyangga sebuah kubah raksasa yang memiliki garis tengah 45 meter.
Di belakang gedung induk terdapat gedung pendahuluan yang berfungsi sebagai penghubung ke lantai atas. Selain itu juga, dapat berfungsi untuk shalat 8.000 jamaah.
Selain dua gedung ini, Masjid Istiqlal juga mempunyai teras ukuran raksasa berukuran 19.800 meter persegi yang dapat menampung sekitar 50.000 jamaah.
“Di teras ini dapat digunakan untuk berbagai kegiatan keagamaan, seperti Musabaqah Tilawatil Quran dan latihan Manasik Haji” ujar Siregar yang telah bekerja di masjid Istiqlal sejak tahun 80an.
Sementara itu, menara mesjid yang berfungsi sebagai tempat pengeras suara dirancang berlubang-lubang untuk mengurangi tekanan dan hembusan angin. Menara ini memiliki ketinggian sekitar 6.666 sentimeter.
Di atas tempat adzan adalah puncak menara yang terbuat dari baja tahan karat seberat 28 Ton dengan tinggi 30 meter.
Sedangkan lantai dasar berada di bawah gedung induk, gedung pendahuluan dan teras raksasa.
Di lantai dasar tersebut, terdapat ruangan kaca luas yang pernah digunakan untuk Festival Istiqlal pertama dan kedua pada tahun 1991 dan 1995.
Selain itu, terdapat puluhan ruangan yang terdiri dari dua aula dan beberapa perkantoran. Aula ini berfungsi sebagai tempat diskusi ilmiah dan pertemuan.
Hingga saat ini, bentuk bangunan masjid tidak berubah sejak dibangun pertama kali.
Setelah 31 tahun secara resmi dipergunakan, masjid Istiqlal yang lokasinya berdekatan dengan Monas dan lapangan Banteng ini masih menjadi tujuan kunjungan wisatawan baik lokal maupun mancanegara.
Central Park - Jakarta
Central Park adalah
sebuah kompleks serbaguna di Jakarta, Indonesia, yang terdiri dari sebuah pusat
perbelanjaan, satu menara perkantoran, 3 apartemen, dan sebuah hotel dengan
luas 655.000 m2 (7,050,000 ft²) yang dibangun oleh Agung Podomoro Group.
Secara keseluruhan, kompleks Central Park merupakan bangunan terbesar ke-8 di dunia.[rujukan?]
Namanya berasal dari Central Park di New York City. Central Park Jakarta melengkapi
kaki langit Jakarta Barat dan terletak di antara Mall Taman Anggrek
dan Mall Ciputra.